PLAGIARISME
Disini saya ingin sedikit cerita atau bisa di bilang
memperluas arti dari plagiarisme, Oke langsung aja deh.
Sangat
kontras dengan anggapan umum yang diperkenalkan kepada publik di
Indonesia oleh
para pemilik saham di bidang industri besar, telah hampir dua
dekade sejak di
dunia ini “plagiarisme” tidak lagi disebut sebagai sebuah
“pencurian” dan
mulai diambil sebagai langkah pertama untuk menyambungkan,
mengintegrasikan
gerakan kultural dan sosial. Sebagai informasi, telah
diselenggarakan
di London dan Glasgow pada tahun 1988 dan 1999, sebuah
festival yang
dikenal dengan nama Festival of Plagiarism. Sejak saat itu telah
menjadi sesuatu
yang menggelikan apabila negara menganggap bahwa
kepemilikan
intelektual sebagai sesuatu yang penting dan wajib dihargai dengan
nilai mata uang,
kultur dan kreasinya selalu menjadi produk dan proses kolektif.
Setiap menit,
tak terhitung berapa jumlah contoh yang dapat diambil di depan
mata kita
tentang bagaimana sistem ekonomi-gratis dan sense komunitas,
terimplikasikan
dalam pengembangan open-system dan free-software dalam hal
yang paling
mengagumkan.
Sementara
kini disini, kita baru diberitahukan dan
dipaksa
untuk mempercayai bahwa plagiarisme adalah pencurian. Sebegitu tertinggalnyakah kita? Belum pernah undang-undang soal
copyright (hak cipta) menjadi sangat represif dan
tolol hingga beberapa saat lalu diresmikan sebagai UU HAKI--diikuti dengan penambahan angka pengangguran
secara massif di berbagai kota besar di
Indonesia.
Paten dapat diterapkan pada apapun, dari mulai perilaku umum, hingga hal-hal yang seharusnya
dapat kita lakukan sendiri. (Misalnya, seperti yang telah terjadi pada petani di India.
Pupuk buatan sendiri telah memasyarakat di
kalangan para
petani disana, hampir semua petani dapat membuat pupuknya
sendiri tanpa
harus membeli dari korporasi pupuk. Tapi sejak korporasi
mengklaim paten
atas pupuk buatan sendiri tersebut, maka tiap petani yang menggunakan bahan yang sama dan
melakukan proses produksi pupuk yang sama
dengan proses
produksi pupuk yang telah dipatenkan tersebut, maka hal tersebut
adalah tindak
ilegal dan dapat dikenakan hukuman. Petani dipaksa untuk membeli pupuk tersebut--sesuatu yang
seharusnya dapat mereka produksi sendiri tanpa
harus membeli
pada korporasi). Maka pengesahan dan pemberlakuan undangundang
semacam ini
tidak lain adalah penancapan bendera perang; pemodal versus intelejensi kolektif, kultur komunal versus
kultur alienasi atau apabila
meminjam bahasa
dari Negri dan Hardt: empire versus multitude.
Kami pikir,
setiap pemikir seharusnya menentang pola pikir kepemilikan
intelektual ini,
mulai dengan hasil kerja mereka sendiri.